Wednesday, December 8, 2010

Wasiat Hasan Al-Banna; Jika Anda Ingin Menjalin Hubungan Dengan Allah, Perbaharuilah Taubat


Tsaqafah Islamiyah
 Oleh: Asy-Syahid Hasan Al-Banna

JIKA ANDA INGIN MENJALIN HUBUNGAN DENGAN ALLAH, PERBAHARUILAH TAUBAT
Kita panjatkan puji syukur ke hadhirat Allah swt. Kita ucapkan shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Ikhwan yang mulia…
Saya sampaikan salam penghormatan Islam, salam penghormatan dari Allah, yang baik dan diberkahi:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Saya ingin agar Sentuhan Hati Hari Selasa ini senantiasa dapat membuka pembicaraan dan mengambil intisarinya pada awal kajian.
Ikhwan sekalian..
Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad akan baik dan jika ia rusak maka seluruh jasad juga akan rusak. Ketahuilah, itu adalah hati.
Kita tidak ingin merampas hak hati kita untuk memperoleh sentuhan yang mulia, yaitu sentuhan cinta dan persaudaraan karena Allah, yang ditumbuhkembangkan di dalam hati oleh acara ini dan oleh pertemuan yang tulus semacam ini, satu malam dalam sepekan. Karena itu, saya tetap ingin memberikan hak sentuhan ini pada malam yang mulia ini, yang kedatangannya sangat saya nantikan lantaran saya berbahagia melihat dan berbicara kepada Anda semua.
Sebagaimana yang pernah dan selalu saya katakan, juga yang saya harapkan agar Anda ketahui, Ikhwan sekalian, janganlah Anda membatasi manfaat pertemuan ini hanya dengan menyerap berbagai hakikat keilmuan yang Anda pelajari atau ungkapan indah yang Anda hafalkan. Tetapi hendaklah Anda semua ingat bahwa ada nilai lain yang lebih tinggi dan lebih luhur, yaitu adanya santapan untuk ruhani kita, kedekatan antar kita, serta kebahagiaan kita oleh perjumpaan di jalan Allah dan karena Allah ini.
Di samping itu, cinta dan persaudaraan, yang merupakan bekal bagi orang-orang lemah, kekayaan bagi orang-orang miskin, serta kebahagiaan bagi orang-orang yang menderita. Pada malam Rabu ini, sebagaimana antusiasme kita untuk memperoleh manfaat pengetahuan, kita juga harus antusias untuk memperoleh kekuatan ruhani dan kebahagiaan jiwa yang terus akan dicurahkan ke dalam jiwa dan disiramkan ke dalam ruhani oleh perjumpaan yang tidak diniatkan selain untuk mencari ridha Allah swt. dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketaqwaan. Kita memohon kepada Allah swt. agar menjadikannya sebagai sikap cinta yang tulus, semata-mata karena mencari ridha-Nya, serta bermanfaat di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik Pemimpin dan Penolong.
Ikhwan yang mulia…
Ada semacam perasaan baru yang ditimbulkan oleh Sentuhan Hati Hari Selasa di dalam jiwa saya pada malam ini, yaitu menerawangnya pikiran dan perasaan saya secara bersamaan ke bukit Shafa. Saya mulai merasakan hal ini untuk pertama kali ketika saya berdiri melaksanakan shalat maghrib pada malam hari ini. Saya hadapkan pandangan kepada para Ikhwan. Saya melihat ke belakang untuk merapikan shaf dan menjalankan sunah ini, karena Rasulullah saw. tidak pernah bertakbir untuk melaksanakan shalat kecuali setelah melihat barisan yang ada di belakangnya. Kadang-kadang beliau meluruskan shaf sendiri dan kadang-kadang beliau menyuruh orang untuk meluruskan shaf-shaf tersebut. Beliau pernah bersabda:
سَوُّوا صُفُوفَكُمْ وَحَاذُوا بَيْنَ مَنَاكِبِكُمْ وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ
“Luruskanlah shafmu, luruskanlah telapak kaki dengan telapak kaki dan pundak dengan pundak. Dan bersikaplah lunak terhadap tangan saudara-saudaramu. ” (Ahmad)
Saya berdiri dan memandangi para Ikhwan. Pandangan inilah yang membawa pikiran dan perasaan saya kepada peristiwa di tengah bukit Shafa, ketika Rasulullah saw. untuk pertama kali dalam sejarah dakwah berkumpul bersama beberapa orang pilihan yang terdiri dari berbagai usia dan berasal dari berbagai tempat. Di antara mereka ada yang masih anak-anak, ada yang tua, ada yang muda, ada yang kaya, ada yang miskin, ada tokoh terkenal, ada orang yang tidak terkenal, ada cerdik pandai dan terdidik, ada yang ummi dan buta huruf, ada yang berstatus budak dan ada yang berstatus sebagai orang merdeka. Secara keseluruhan jumlah mereka bisa dihitung dengan jari dan tidak lebih dari seratus orang. Beliau saw. berkumpul bersama orang-orang pilihan ini di tengah-tengah bukit Shafa, menyirami mereka dengan semangat spiritual beliau, menuntun mereka membaca kitab Allah yang agung, dan mendiktekan ayat-ayat Allah. Dari mereka itulah beliau membangun umat yang baru, dengan dakwah baru dan untuk dunia baru. Demi Allah, wahai Ikhwan, hampir saja saya lupa bertakbir dalam shalat karena hampir larut membayangkan peristiwa itu. Saya lantas memendam bayangan dalam diri saya. Sekarang kesempatan berdiri di hadapan Anda semua, saya manfaatkan untuk menyampaikan perasaan yang terpendam itu. Tidak mungkinkah kelompok yang ada ini menjadi pelanjut dari kelompok dahulu itu? Tidak mungkinkah Anda menyampaikan dakwah baru untuk membentuk sebuah kelompok baru yang menjadi fondasi bagi berdirinya sebuah dunia baru?
Rasulullah saw. bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ
“Akan tetap ada sekelompok umatku yang muncul di atas kebenaran, yang tidak akan menjumpai bahaya dari siapa pun yang memusuhi mereka.” (Muslim)
Dalam sebuah atsar juga disebutkan:
“Kebaikan akan ada pada diriku dan pada umatku hingga hari kiamat”.
Saya mengidamkan dari Anda semua menjadi sebagaimana kelompok pilihan yang ada di hadapan Rasulullah saw. ketika itu, yang dimulai dari anak usia 9 tahun hingga orang dewasa berusia 40 tahun. Di dalamnya terhimpun orang miskin yang kebutuhan sehari-harinya tidak terpenuhi dan orang kaya yang rezkinya dilapangkan oleh Allah. Persatuan kelompok ini bertumpu pada seseorang, bukan yang paling berpangkat, yang paling banyak keluarganya, atau yang paling memiliki berbagai perangkat hidup, tetapi pada seorang laki-laki dari kalangan mereka.
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah Tuhan Yang Esa.” (Al-Kahfi: 110)
Mereka bersatu di sekeliling Nabi saw. Apa yang dicita-citakannya? Apa yang dipikirkannya? Apa yang diinginkannya? Sampai sejauh manakah cita-cita kelompok yang mengadakan pertemuan dan pembicaraan secara sembunyi-sembunyi ini? Apakah yang diinginkan oleh orang-orang itu? Mereka ingin menanamkan paradigma baru dalam pemikiran masyarakat, menegakkan dunia baru di muka bumi ini, dan menyusun bangunan baru dari struktur masyarakat, serta menyambung hubungan antara langit dan bumi.
Kelompok kecil yang terpisah dari masyarakat ini ingin memberikan tatanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang baru kepada umat manusia, dengan izin Allah. Tak lama kemudian kelompok ini berhasil memancangkan panji-panji Allah di bumi, menyatukan hati manusia pada Tuhan manusia, menumbuhkan perasaan baru dalam hati, meletakkan kitab baru di hadapan umat manusia, dan menciptakan generasi teladan di tengah-tengah manusia, yang berhak mendapatkan sifat dan Allah swt.
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia.” (Ali Imran: 110)
Setelah dengan penghayatan jiwa, saya mengkhayalkan kelompok pertama yang merupakan pilar dakwah Rasulullah saw. di tengah-tengah bukit Shafa ini dan saya dapati bahwa faktor utama yang menjadi landasan tegaknya dakwah tersebut dalam jiwa kelompok ini ada tiga. Seandainya ketiga hal itu berhasil terwujud di dalam diri kita sebagaimana yang telah terwujud dalam diri mereka, niscaya kita akan dibawa melangkah di jalan kemuliaan dan kemenangan, sebagaimana yang telah terjadi pada mereka.
Pertama adalah unsur keimanan yang sempurna.
Keimanan inilah yang membersihkan mereka dari keinginan apa pun selain dakwah. Mereka telah mendengarkan seruan:
“Maka segeralah kembali kepada Allah.” (Adz-Dzariyat: 50)
Mereka menjadikan La ilaha Mallah sebagai slogan, pada saat yang sama mencampakkan slogan selainnya. Orang-orang musyrik berada dalam kesesatan, karena mereka mempertuhan selain Allah. Orang-orang Persia berada dalam kesesatan karena mereka mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Ahli Kitab berada dalam kesesatan karena mereka menjadikan para pendeta dan orang-orang alim mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.
Bumi ini secara keseluruhan berputar di atas poros kesesatan, karena tidak mendapatkan petunjuk dan tidak mengambil cahaya dari Allah. Sedangkan mereka berada di atas kebenaran yang nyata karena mereka telah menghindari penyembahan kepada berhala dan hawa nafsu serta menyerahkan seluruh pengabdian kepada Allah. Mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah, tidak patuh kecuali kepada Allah, tidak bergantung kecuali kepada Allah, tidak memohon kecuali kepada Allah, dan tidak merasakan kebahagiaan kecuali karena berdekatan dengan Allah. Mereka tidak merasa menderita kecuali oleh dosa yang menjauhkan dari Allah.
Semua itu merupakan faktor pertama yang menyatukan hati mereka, karena mereka tidak berafiliasi kepada si Fulan atau si Fulan. “Bapakku Islam, tidak ada bapak selainnya bagiku. Ketika orang-orang berbangga dengan Qais dan Tamim Mereka tahu bahwa bumi ini milik Allah yang diwariskan kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya dan bahwa kesudahan yang baik akan diperoleh orang-orang yang bertaqwa. Segala perbedaan yang biasanya mencabik kelompok-kelompok dan menjauhkan hati seseorang dari yang lainnya, musnah, lantaran mereka telah diwarnai dengan sibghah (celupan) Allah.
“Sibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik sibghah-njz daripada Allah?” (Al-Baqarah: 138)
Kedua, unsur cinta, kesatuan hati, dan keterpautan jiwa.
Faktor apalagi yang bisa menjadikan mereka berselisih? Apakah mereka akan berselisih gara-gara kenikmatan dunia yang fana ataukah karena perbedaan gaji, tugas, dan status, sedangkan mereka mengetahui bahwa,
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (Al-Hujurat: 13)
Jadi tidak ada faktor-faktor yang mengakibatkan mereka terpecah belah. Mereka bersatu dan bersaudara, yang satu tidak menghinakan yang lain, tetapi masing-masing mencintai saudaranya dengan sepenuh kecintaan, kecintaan yang mencapai tingkatan itsar (mengutamakan orang lain).
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Al-Hasyr: 9)
Mereka juga senantiasa menghayati firman Allah:
“Katakanlah, ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan- Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah: 24)
Ketiga, adalah unsur pengorbanan.
Mereka telah paham semua ini, sehingga rela memberikan apa saja untuk Allah, sampai-sampai ada di antara mereka yang merasa keberatan mengambil ghanimah yang telah dihalalkan oleh Allah untuk mereka.
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kalian ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Al-Anfal: 69)
Terhadap hal ini pun mereka merasa keberatan dan menghindari. Mereka meninggalkannya karena mengharapkan pahala dari Allah swt. agar amal mereka tidak dikotori oleh ambisi pribadi.
Ketiga unsur ini, yaitu keimanan yang membersihkan diri mereka dari pikiran apa pun selain ma’rifatullah dan ukhuwah yang mengikat hati mereka sehingga seakan-akan menyatu, dan pengorbanan yang mendorong mereka untuk memberikan jiwa dan harta dalam rangka menggapai ridha Allah, yang menyebabkan mereka tampil dalam profil seperti ini.
Faktor-faktor inilah yang telah mengeluarkan sekelompok manusia tersebut dari kehinaan kepada kemuliaan, dari perpecahan kepada persatuan, dan dari kebodohan kepada ilmu. Mereka adalah pemberi petunjuk bagi umat manusia dan calon-calon pengantin di surga.
Perasaan ini, Ikhwan sekalian, meluap di dalam diri saya ketika saya berdiri melihat Anda semua dalam shaf, dan ketika berdiri berceramah di hadapan Anda semua. Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kita sebagai pengganti-pengganti mereka, agar kita memurnikan iman kita kepada Allah, agar Dia menjadikan kita orang-orang yang bercinta karena Allah, bersatu di atas kalimat-Nya, sebagaimana mereka telah bersatu dan memberikan sesuatu untuk menggapai ridha Allah.
Ya Allah, kami menginginkan yang demikian itu; maka jadikanlah kami, ya Allah, demikian.
Salah seorang akh sepekan yang lalu mengusulkan sebuah tema kepada saya. Barangkali dalam kondisi seperti ini, banyak yang mengharapkan saya menyampaikan ceramah dengan tema yang jauh dari apa yang akan saya bicarakan kepada Anda semua sekarang. Tetapi, sebenarnya saya mempunyai anggapan bahwa pembicaraan ini sangat dekat dengan keadaan kita sekarang.
“Sesungguhnya mereka melihatnya jauh, tetapi kita melihatnya dekat.” (Al-Ma’arij: 6-7)
Seorang akh pernah membisikkan ke telinga saya pada akhir kajian yang lalu, “Berbicaralah kepada kami tentang taubat.” Ia lantas pergi meninggalkanku. Tiba-dba ada akh lain berbisik pula, “Ingatkan kami kepada Allah, karena dosa-dosa kami sudah banyak.” Datang orang ketiga yang berbisik, “Insya Allah, pembicaraan kita pada pekan mendatang adalah ‘kita berpikir tentang taubat kita.’” Sedangkan Akh Yahya Afandi Abdul Aziz meminta agar saya melengkapi pembicaraan tentang sejarah para nabi dan agar tema yang dipilih malam ini mengenai Sayidina Ibrahim as., supaya tema serial yang pernah saya sampaikan itu lengkap.
Kemudian saya berpikir, tema apakah yang akan saya bicarakan, kemudian saya dapati diri saya tertarik untuk berbicara tentang tema pertama, “Taubat”.
Ikhwan sekalian…
Sungguh menakjubkan. Sebelum berbicara kepada Anda semua, pembicaraan ini terlebih dahulu saya tujukan kepada diri saya sendiri. Ini bukan sekedar masalah pembahasan kitab atau pentransferan ilmu, tetapi masalah hati yang saling terpaut dan bersatu.
Barangkali di antara kita ada yang berhati waspada kemudian berhubungan dengan hati yang lalai dan mempengaruhinya sehingga ikut waspada. Barangkali di antara kita ada seorang yang maqbul, lantas kita menjalin hubungan dengannya sehingga ia limpahkan kepada kita sebagian kabar gembira tentang kedatangan rahmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.
Ikhwan sekalian..
Saya telah banyak berbicara mengenai hal-hal yang tampaknya jauh melenceng dari tema pembicaraan kita sekarang, tetapi saya menganggapnya sangat dekat. Demi Allah, andaikata kita semua bisa melaksanakan taubat dengan sebaik-baiknya, niscaya kita akan mempunyai salah satu senjata yang paling tajam. Itulah yang saya katakan bahwa “orang-orang melihatnya jauh, tetapi saya melihatnya dekat”, karena kekuatan ada dua macam: kekuatan khalik dan kekuatan makhluk. Jika kekuatan makhluk tidak kita miliki, maka kita bertumpu kepada kekuatan Al-Khalik. Jika kita tidak mampu membela diri kita sebagaimana yang bisa dilakukan oleh penduduk bumi yang lain, maka hendaklah kita memohon pertolongan kepada Allah, sang Khalik.
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (Al-Hajj: 38)
Jika kita gagal menyempurnakan kekuatan materi, tiada yang harus kita lakukan selain menyempurnakan kekuatan spiritual. Karena itu, Ikhwan sekalian, izinkan saya berbicara kepada Anda mengenai taubat. Semoga dalam pertemuan ini kita bisa menghadapkan hati dan bertaqarub kepada Allah dengan sebaik-baiknya, sehingga rahmat dan ketenangan dari Allah akan turun kepada kita.
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung- kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kalian tiada menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumahrumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”(AI-Hasyr: 2)
“Jika kalian tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kalian tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (At-Taubah: 40)
Perhatikan, wahai Akhi, firman Allah swt. ketika menceritakan kisah Nabi-Nya saw.
“Di waktu dia berkata kepada temannya, Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’”
Ketika pertolongan dari Allah datang, maka tidak ada satu kekuatan pun bisa mengalahkannya. Kemudian Allah memberikan kasih sayang dan rahmat-Nya. Betapa perlunya kita bertaubat, dengan taubat nasuha (taubat yang sebenar-benarnya), semoga Allah meliputi kita dengan perhatian dan rahmat-Nya.
Ikhwan sekalian, jika kita berbicara tentang taubat, maka seakan-akan kita berbicara tentang sesuatu yang menjadi tujuan kita. Manusia itu dipengaruhi oleh dua kekuatan: kekuatan ruhani dan kekuatan materi.
Anda, wahai Akhi, adalah makhluk spiritual dengan ruh yang Anda miliki, tetapi juga makhluk materi dengan badan yang membungkus Anda. Karena itu, Anda bisa dipengaruhi oleh kebaikan berkat komponen spiritual Anda, sekaligus bisa dipengaruhi oleh keburukan lantaran komponen material Anda. Anda makhluk spiritual dengan rahasia firman Allah,
“Dan telah Kutiupkan padanya ruh-Ku.” (Shad: 72)
Pada saat yang sama Anda juga makhluk materi dengan rahasia firman Allah,
“Dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” (Al-A’raf: 12)
Ini adalah penciptaan Anda pertama kali. Masing-masing dari keduanya mempunyai tuntutan, keinginan, permulaan, dan akhir yang berbeda dari yang lain, sedangkan Anda maju mundur di antara keduanya. Sekarang Anda pahami firman Allah berikut:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 10)
Anda berada di pertengahan. Ruh menarik Anda ke alamnya yang tinggi, sedangkan materi menarik Anda ke alamnya (tanah) yang rendah.
Allah swt. telah mengutus seorang rasul untuk menjelaskan kepada Anda apa yang baik dan yang buruk bagi Anda. Allah juga menciptakan musuh yang senantiasa siaga, yaitu iblis, yang telah bersumpah untuk menjerumuskan Anda kepada keburukan.
“Kemudian saya (iblis) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 17)
Jadi, wahai Akhi, Anda dihadapkan kepada dua kekuatan ini. Jika kekuatan spiritual menang, Anda naik ke alam Al-Malaul A ‘la, tetapi jika kekuatan materi —yang berunsur tanah— menang, Anda jatuh hingga ke martabat yang serendah-rendahnya.
“Maka sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Sjams: 9,10)
Wahai Akhi, taubat adalah timbangan yang menguatkan dan tangga untuk meningkatkan kebaikan. Orang-orang bijak pernah mengatakan, “Seluruh maqam mempunyai awal dan akhir, kecuali taubat. Ia senantiasa menyertai seseorang sejak dari awal hingga akhirnya. Jika Anda terseret oleh kekuatan jahat, boleh jadi Anda mendapatkan ilham untuk bertaubat sehingga kembali sebagaimana keadaan sebelumnya, atau Anda terdorong untuk terus melakukan kemaksiatan dan tetap pada kejahatannya, sehingga Anda kalah dalam pertarungan.”
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (Al-A’raf: 176)
Adapun orang yang terjerumus, jatuh, dan cenderung kepada daun timbangan kejahatan, sedangkan tali yang menghubungkannya dengan kebaikan hampir terputus, akan tetapi ia menyadari kesalahan dan bertaubat, segera berdiri dengan penuh rasa takut, tunduk, taubat dan penyesalan, maka ia akan pulih kembali kepada posisinya semula, bahkan daya tahannya semakin kuat, sehingga dirinya semakin dekat kepada kebaikan.Itu telah diisyaratkan oleh firman Allah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (Ali Imran: 135-136)
Jika seseorang tekun bertaubat, terus-menerus mengingat dan melaksanakannya, maka sebagai hasilnya akan tumbuh dalam dirinya daya kewaspadaan. Jika setan datang membisiki dan menggoda untuk mengikutinya, ia segera sadar, tetap pada pendiriannya, dan takut kepada perintah Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al-A’raf: 201)
Jika ia terus memegang teguh taubat, maka setan akan putus harapan terhadapnya, karena tahu bahwa ia telah melindungi diri dengan kewaspadaan; diri, perasaan, dan ruhnya telah disinari oleh hakikat pengetahuan yang benar, selain juga ketaatan. Ketika itulah ia berada dalam lindungan Allah.
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagi kalian terhadap mereka.” (Al-Hijr. 42)
Wahai Akhi, ini semua tidak terjadi karena ia senantiasa membawa semangat bertaubat. Karena itulah, wahyu berikut diturunkan:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat.” (An-Nashr: 1-3)
Ketika shalat, dalam ruku’ dan sujud beliau membaca:
“Mahasuci Allah, dan dengan memuji-Mu maka ampunilah aku.”
Wahai Akhi, Anda mendapati anjuran untuk bertaubat. Cukuplah bila Anda mengetahui bahwa ia merupakan sebab yang mendatangkan kecintaan Allah.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Di antara sentuhan makna halus yang terkandung dalam taubat, Ikhwan yang mulia, adalah bahwa ketika bertaubat, Anda memuji Allah.
Taubat adalah karunia Allah kepada Anda, bukan karunia Anda kepada Allah. Tetapi Allah swt. adalah Dzat yang telah memberikan taufiq dan ilham kepada Anda untuk melaksanakan taubat, sebagaimana Dia telah mengilhamkan hal itu kepada moyang Anda:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Semula Adam tidak mengetahui bagaimana cara bertaubat, lantas Allah mengajarinya. Itulah teladan yang dibuat oleh Allah untuk Anda.
“Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya.” (Thaha: 1 2 2 )
Jika Allah tidak menghendaki Anda bertaubat, niscaya Dia tidak memberikan ilham kepada Anda untuk bertaubat.
Jika Anda kembali kepada Allah dengan bertaubat, maka itu merupakan petunjuk bahwa Dia mencintai Anda.
“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” (At-Taubah: 1 1 8 )
Dalam doa sayyidul istighfar, Rasulullah saw. berdoa:
‘Ya Allah, Engkaulah Tuhanku. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau telah menciptakan diriku, sedangkan aku adalah hamba-Mu dan aku berada di atas perjanjian-Mu sebatas kemampuanku. Aku berlindung kepada- Mu dari kejahatan perbuatanku. Aku mengakui nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.”
Nabi saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa mengucapkannya pada sore hari dengan penuh keyakinan, kemudian pada malam harinya meninggal dunia, niscaya ia masuk surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudian pada siang itu ia meninggal dunia, maka ia masuk surga.”
Pertama kali yang Anda katakan kepada Tuhan Anda dalam istighfar ini adalah, ‘Ya Allah, Engkaulah Tuhanku.” Anda bertawasul kepada Allah dengan pendidikan-Nya terhadap Anda, perjanjian-Nya terhadap Anda, kemudian dengan keesaan-Nya dalam tauhid.
Setelah itu Anda menyatakan bahwa segala nikmat berasal dari-Nya. Lantas Anda mengatakan, “Engkau telah menciptaku,” berarti Anda mengakui sifat kehambaan bagi diri Anda: “Sedangkan aku adalah hamba-Mu,” berarti Anda mengakui perjanjian antara Anda dengan-Nya; “Dan aku berada di atas perjanjian-Mu,” yakni mengakui janji yang dijanjikan-Nya, ketika Ia mengambil perjanjian darimu: “dan janji-Mu, sebatas kemampuanku. “Kemudian mengakui nikmat yang diberikannya kepada Anda, “Aku mengakui nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku,” karena sesungguhnya Allah swt. adalah sumber segala nikmat dan yang memberikan taubat. Kemudian Anda mengakui dosa, “Dan aku mengakui dosadosaku”.
Ternyata Anda adalah seorang pelaku dosa yang suka memohon ampunan, “Maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” Seraya mengatakan, “Ya Allah, tidak ada alasan yang bisa aku kemukakan, tidak ada kekuatan yang bisa kumintai pertolongan; jika Engkau mengampuni, itu merupakan kemurahan, dan jika Engkau menyiksa, itu pun merupakan keadilan.”
Ikhwan sekalian…
Apakah Anda semua ingin agar kita bisa berhubungan dengan Allah, sehingga kita memperbarui taubat?
“Mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Sayidina Muhammad, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya.






No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...